Kamis, 21 Oktober 2021

Lima Dimensi Pendidikan di Indonesia

Refleksi Pertemuan 7

(Sumber Gambar: Marsigit, 2021)



Dimensi pertama yaitu Industrial Trainer. Dalam dimensi ini, politik bersifat radikal right. Pengetahuan dari Industrial Trainer masih berpegang pada body of knowledge, dimana nilai moralnya bersifat baik atau buruk, sedangkan teori sosialnya bersifat hirarki atau berorientasi pada pasar. Teori pebelajar yang digunakan adalah Empty Vesel. Ranah dari teori kemampuan dalam Industrial Trainer adalah talenta dan kerja keras, dimana tujuan pendidikannya adalah Kembali pada dasar (bact to basic) yang mengaplikasikan teori mengajar yang digunakan adalah transfer ilmu pengetahuan dan teori pembelajarannya adalah kerja keras, latihan, dan ingatan. Alat bantu dalam proses pembelajaran pada dimensi ini adalah papan dan kapur tulis, di mana hasil belajar dievaluasi menggunakan tes eksternal. Keragaman dari dimensi ini adalah monocultural. Dimensi ini dapat terlihat pada Kurikulum yang berlaku di Indonesia pada penerapan Kurikulum Tahun1945 – 1984.

Dimensi kedua yaitu Technological Pragmatism. Dalam dimensi ini, politik bersifat konservatif. Pengetahuan dari Technological Pragmatism masih berpegang pada kebenaran sains, dimana nilai moralnya bersifat pragmatis. Teori sosial yang berlaku pada dimensi ini bersifat hirarki, sama dengan dimensi sebelumnya yaitu Industrial Trainer. Teori pebelajar yang digunakan adalah Empty Vesel. Ranah dari teori kemampuan dalam Technological Pragmatism adalah talenta, dimana tujuan pendidikannya adalah sertifikasi, yang sangat memercayai bahwa belajar itu membutuhkan motivasi eksternal. Teori pembelajarannya adalah kemampuan berpikir dan mengaplikasikan. Alat bantu dalam proses pembelajaran pada dimensi ini adalah media atau alat peraga pembelajaran atau sudah bersifat semi konkret, di mana hasil belajar masih dievaluasi menggunakan tes eksternal. Adapun keragaman dari dimensi ini adalah desentralisasi. Dimensi ini dapat terlihat pada Kurikulum yang berlaku di Indonesia pada penerapan Kurikulum 1994.

Dimensi ketiga yaitu Old Humanism. Dalam dimensi ini, politik bersifat konservatif liberal. Pengetahuan dari Old Humanism berpegang pada struktur dari kebenaran, dimana nilai moralnya bersifat hirarki dan membentuk sebuah pola. Teori sosial yang berlaku pada dimensi ini masih bersifat hirarki, sama dengan dimensi sebelumnya yaitu Industrial Trainer dan Technological Pragmatism. Teori pebelajar yang digunakan adalah membangun karakter siswa. Ranah dari teori kemampuan dalam Old Humanism sudah mengarah pada pengembangan talenta, dimana tujuan pendidikannya adalah transfer ilmu pengetahuan, yang sangat memercayai bahwa belajar itu membutuhkan ekspositori. Teori pembelajarannya adalah kemampuan penerapan dan pengaplikasian. Alat bantu dalam proses pembelajaran pada dimensi ini adalah media pembelajaran visual, di mana hasil belajar masih dievaluasi menggunakan tes eksternal. Adapun keragaman dari dimensi ini bersifat kurikulum berbasis kompetensi. Dimensi ini dapat terlihat pada Kurikulum yang berlaku di Indonesia pada penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Dimensi ketempat yaitu Progressive Educator. Dalam dimensi ini, politik bersifat liberal. Pengetahuan dari Progressive Educator berpegang pada proses berpikir, dimana nilai moralnya bersifat humanis. Teori sosial yang berlaku pada dimensi ini adalah kesejahteraan, telah mengalami pergeseran dibandingkan dengan dimensi sebelumnya yaitu Industrial Trainer dan Technological Pragmatism yang masin bersifat hirarkis. Teori pebelajar yang digunakan adalah berorientasi pada siswa. Ranah dari teori kemampuan dalam Progressive Educator sudah mengarah pada analisis kebutuhan, dimana tujuan pendidikannya adalah bagaimana membentuk kreativitas siswa, yang sangat memercayai bahwa belajar itu merupakan hasil dari mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Teori pembelajarannya adalah kemampuan mengeksplorasi. Alat bantu dalam proses pembelajaran pada dimensi ini sudah mulai beragam, mulai dari media pembelajaran audio, visual, maupun kombinasi dari keduanya, di mana hasil belajar telah dievaluasi menggunakan portofolio. Adapun perbedaan dari dimensi ini yaitu bersifat terbuka, dimana jawaban yang diharapkan adalah banyak solusi sehingga dapat merangsang kreativitas siswa. Dimensi ini dapat terlihat pada Kurikulum yang berlaku di Indonesia pada penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Dimensi ketlima yaitu Public Educator. Dalam dimensi ini, politik telah bersifat demokrasi, di mana pemimpin dapat dipilih langsung oleh rakyatnya melalui pemilihan umum. Pengetahuan dari Public Educator berpegang pada aktivitas sosial, dimana nilai moralnya bersifat kebebasan dalam memilih, berpikir, dan bertindak. Teori sosial yang berlaku pada dimensi ini adalah kebutuhan akan reformasi, telah mengalami pergeseran dibandingkan dengan empat dimensi sebelumnya. Teori pebelajar yang digunakan adalah teori belajar konstruktivisme. Ranah dari teori kemampuan dalam Public Educator telah mengarah pada heremeneutika, dimana tujuan pendidikannya adalah bagaimana siswa dapat mengontruksi pemahamannya sendiri, dan sangat memercayai bahwa belajar itu merupakan hasil dari mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Teori pembelajarannya adalah kemampuan hermeneutika. Alat bantu dalam proses pembelajaran pada dimensi ini sudah mulai beragam, mulai dari media pembelajaran audio, visual, maupun kombinasi dari keduanya, dan juga menjadikan lingkungan sosial sebagai media pembelajaran, di mana hasil belajar telah dievaluasi menggunakan portofolio dan penilaian dalam konteks sosial. Adapun perbedaan dari dimensi ini dibandingkan dengan dimensi-dimensi sebelumnya yaitu bersifat hetereogonomous, yaitu perbedaan atau keragaman. Dimensi ini dapat terlihat pada Kurikulum yang berlaku di Indonesia pada penerapan Kurikulum 2013. Dimensi Public Educator ini telah terlihat pada akhir dari era Revolusi Industri 4.0 yang saat ini sedang berlangsung dan mulai mengarah pada era Society 5.0.



Kamis, 07 Oktober 2021

Bertanya: Jalan Membuka Ilmu Pengetahuan

   Refleksi Pertemuan 6

   

Dengan adanya pertanyaan, maka kita mempunyai alasan untuk menjawan dan berdiskusi. Oleh karena itu, jika kita berhenti bertanya maka kita terancam untuk masuk pada ranah mitos atau ranah yang tidak lagi memikirkannya. Namun jika sudah berkali-kali ditanya, dan tidak ada perubahan untuk berusaha mencari ilmu, maka sebenarnya kita sendiri yang tidak mau berubah. Ilmu itu harus dicari, melalui banyak cara, bisa membaca, mendengarkan, mengalaminya, atau bisa juga dengan berdiskusi, karena berdiskusi sama dengan mengulangi pengalaman. 

Menurut Immanuel Kant, secara garis besar pikiran itu dibagi menjadi dua, yaitu rasionalitas dan pengalaman. Rasionalitas yang ditingkatkan itu bisa sampai pada langit yang mempunyai kebenaran koherensi yang berarti sesuai. Pengalaman yang ditingkatkan bisa sampai ke bumi, kebenaran bumi adalah korespondensi yang artinya kecocokan. Berfilsafat itu ada tingkatannya, jadi masuk pada ranah metafisik. Pengalaman dan pikiran menjadi satu kesatuan jika kita menggunakannya menjadi pengalaman berpikir. Pikiran terdiri dari analitik apriori, sedangkan pengalaman terdiri dari sintetik aposteriori. 

Melihat tanpa persiapan, melihat dengan intensi, melihat dengan meneliti, dan melihat dengan tujuan adalah hal yang berbeda-beda. Sifat dari aposteriori adalah kontingensi. Pengalaman yang diulang adalah diskusi. Konsisten karena analogi. Antitisis dari sensasi adalah pengetahuan. Langit adalah apa yang di atas dari objek yang dimaksud. Semua yang sulit diketahui adalah transenden. Sehingga kesalahan langit adalah para logos atau antinomi. Langit pun bisa bersalah. Ada yang dinamakan dengan transcendental skematik, sehingga ilmu bersifat membedakan. Sehingga cara untuk membelah langit adalah dengan transcendental skematik.