Minggu, 13 Oktober 2013

Refleksi 4, Filsafat Ilmu


REFILSEP IV

Alam semesta terbuat dari apa?
Tuhan itu mendahului segala sesuatu. Mendahului apa-apa yang diciptakan. Manusia mempunyai sejarah yang terbatas. Sebenar-benar sejarah adalah milik Tuhan. Apalah manusia mengerti sejarah dirinya, manusia sebenarnya tidak mengetahui dirinya walaupun hanya satu titik. Tuhan itu mendahului segala sesuatu. Mendahului segala sesuatu yang diciptakannya. Jadi Tuhanlah yang mempunyai sejarah. Manusia sejarahnya sangat terbatas dan relatif. Tuhanlah yang mengetahui semua sejarah dari yang ada dan yang mungkin ada.
Ketika kita melakukan olah pikir dan olah hati, maka kita menggunakan spiritual. Ketika menggunakan olah hati, maka manusia yang bersifat tidak sempurna, mempunyai wilayah penekanan-penekanan di dalamnya. Ada kalanya ketika kita berada, kita masih menggunakan otak kita, tetapi jika kita mengintensifkan spiritual kita, maka kita harus menghentikan olah pikir kita. Pengetahuan spiritual manusia bisa tinggi dan rendah, namun kualitas dalam spiritual kita hanya Tuhanlah yang tahu.
Alam semesta terbuat dari apa, merupakan misteri Tuhan. Manusia hanya mempunyai batas tertentu dalam berpikir, jika manusia mengetahui Alam semesta terbuat dari apa, maka sesungguhnya manusia mulai mengenal misteri Tuhan. Kendalikanlah pikiran kita menggunakan hati kita. Tetapkanlah hati kita sebagai komandan kita. Sebenar-benarnya dan semampu-mampunya berfilsafat adalah menjelaskan.
Apa yang kita peroleh dan apa yang kita baca, itulah yang kita gunakan sebagai awal dari pemaham kita. Jangan mudah merasa sombong atas apa yang sedah kita peroleh. Berfilsafat itu adalah mencari hakekat. Pengalaman adalah separuh dari ilmu, separuhnya lagi adalah memikirkannya. Ilmu bukanlah sesuatu yang instan.

Perlukah menghafal dalam belajar filsafat?
Metode menghafal adalah metode yang naïf bin konyol. Karena metode tersebut tidak mencapai sasaran. Sasaran dari pembelajaran adalah pemahaman. Tujuan dari belajar adalah bagaimana caranya yang mungkin ada menjadi ada.

Apakah ada tokoh filsafat yang baru?
Filsafat itu berdimensi, sehingga tokohnya juga berdimensi. Pikirannya juga berdimensi. Dimensi itu menyangkut struktur. Strukturnya menyangkut yang ada dan yang mungkin ada. Hal ini menyangkut salah satu struktur dari bermilyar-milyar struktur yang ada. Ada filsafat material, formal, normati, dan spiritual. Bentuk-bentuk materialnya berbentuk Buku-bukunya,tulisannya, dan sebagainya, tokoh-tokoh formal Plato, Socrates, Rene Descartes, Immanuel Kant, Russel, dan yang lainnya, sedangkan tokoh-tokoh normatifnya adalah pikiran-pikirannya para filsuf dan ide-idenya. Dalam berfilsafat, maka diri kitalah tokoh substansi dari filsafat kita. Fungsi dari belajar filsafat adalah membebaskan pikiran kita dari keterkungkungan tokoh-tokoh lain dalam hal metodologi berpikirnya sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya.

Apa beda antara kebanggaan dan kesombongan?
Manusia itu tidak sempurna dan mempunyai banyak kesalahan dan kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah manusia tidak bisa terisolasi. Manusia itu terbatas. Karena keterbatasannya maka manusia menemukan arti hidupnya. Sesungguhnya manusia itu multiwajah ketika di dunia. Namun jika kita kembali ke langit, maka manusia hanyalah satu, yaitu kekuasaannya. Begitu turun ke dunia, maka manusia adalah multifacet (plural). Manusia tak pernah mencapai namanya. Hanya Tuhanlah yang sama dengan nama-Nya. Bangga dan kesombongan lebih ke bentuk wadahnya. Bangga dan sombong sama-sama menjadi predikat dari suatu subyek.

Mengapa pengetahuan bisa muncul dari keragu-raguan?
Tokoh bersejarah dari paham keragu-raguan adalah ilmu adalah Rene Descartes. Padahal, rene Descartes meragukan semuanya tanpa terkecuali termasuk Tuhan. Keragu-raguannya itu dalam rangka menemukan Tuhan. Ragu-ragu juga berdimensi. Ragu-ragu bisa menjadi ilmu karena setelah meragukan sesuatu maka ketemulah pengetahuan.

Bagaimana cara membedakan penjelasan mengenai material, formal, normatif, dan spiritual dalam berfilsafat?
Dalam mempelajari filsafat, apalagi untuk membedakan berbagai dimensi, tidaklah seinstan yang kita pikirkan. Material, formal, normatif, dan spiritual mempunyai dimensinya masing-masing. Susahnya memahami bahasa analog sama halnya dengan membedakan dimensi tersebut. Memahami perbedaan dari dimensi memanglah sulit, sama halnya dengan tidak mudahnya memahami bahasa analog. Inilah cara berkomunikasi antara dimensi.

Kamis, 10 Oktober 2013

Refleksi 3, Filsafat Ilmu


REFILSEP III

Bisakah kita mengetahui filsafat seseorang itu seperti apa?
Tidak ada seorang filsuf yang mengaku bahwa dirinya filsuf. Contohnya Immanuel Kant adalah seorang rasionalism, empirisism, transcendentalism, dan seterusnya, tergantung pada karya-karyanya. Rene Descartes bisa seorang rasionalism karena mengandalkan rasio, tetapi juga seorang sceptisism karena memperoleh pengetahuan melalui keragu-raguan, dan seterusnya. Tidaklah seorang di dunia ini yang mengaku bahwa ia telah menguasai filsafat.

Bagaimana peran filsafat terhadap ilmu yang lainnya?
Semua yang ada dan yang mungkin ada pasti mempunyai hakekatnya sendiri-sendiri. Sehingga setiap ilmupun pasti mempunyai hubungan dengan filsafat.

Mengapa matematika bukan ilmu?
Menurut Immanuel Kant, ilmu terdiri dari dua hal, yaitu logika dan pengalaman. Keduanya saling bersinergi dan saling menyokong. Pikiran harus disertai dengan pengalaman, dan pengalaman harus disertai dengan pemikiran. Dalam matematika, kebanyakan hanya berpikir saja, tanpa melakukan banyak pengalaman. Sehingga matematika itu barulah separuh ilmu. Ilmu yang kokoh atau ilmu yang seutuhnya adalah yang menggunakan logika dan pengalaman dalam memperoleh ilmu tersebut. Berfilsafat adalah kemampuan menjelaskan, menerangkang, berpikir logika dalam menjelaskan pengalaman. Berfilsafat itu melihat secara keseluruhan, mengambil satu titik yang mewakili keseluruhannya menggunakan metode reduksionisme.

Apakah kita bisa mengukur kemampuan berfilsafat?
Berfilsafat sesuai dengan dimensinya.  Setiap dimensi mempunyai bahasanya masing-masing. Berfilsafat itu sangat halus dan sangat lembut. Seseorang tak bisa diukur filsafatnya, tak ada yang mampu mengetahui bahwa ia telah memahami filsafat.

Diperoleh dari mana istilah-istilah dalam filsafat?
Istilah-istilah dalam filsafat diperoleh dari semua hal yang ada dan yang mungkin ada. Belajar filsafat adalah sopan dan santun terhadap yang ada dan yang mungkin ada. Sopan dan santun bisa diraih dengan mengerti dan memahami apa yang kita pelajari. Membacalah, karena dengan membaca kita telah mengadakan yang mungkin ada. Dalam menuntut ilmu, kenakanlah substansi dalam berfilsafat.

Apakah hukum dunia menurut filsafat?
Menurut filsafat, dunia mempunyai dua hukum, yaitu hukum identitas dan hukum bukan identitas (hukum kontradiksi). Hukum identitas akan termakan oleh hukum kontradiksi jika dia sensitif terhadap ruang dan waktu. Contoh, 2 + 3 =5 akan menjadi benar jika terbebas dari ruang dan waktu. Ruang adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Secara filsafat 2 = 2 akan terjadi kontradiksi, karena tidak ada segala sesuatu yang dapat menempati waktu dan ruang dalam waktu dan ruang yang sama. Tidak adalah segala sesuatu yang sama dengan namanya sendiri, kecuali Allah SWT yang sama dengan nama-Nya.



Rabu, 02 Oktober 2013

Refleksi 2, Filsafat Ilmu


REFILSEP II

Berfilsafat tidak berawal dari sesuatu yang sulit, tetapi berfilsafat berawal dari sesuatu yang wajar-wajar saja yang melekat pada diri kita masing-masing. Berfilsafat adalah olah pikir. Berfilsafat berarti mengembarakan pikiran kita. Berfilsafat juga berarti bersyukur bahwa kita masih diberi kemampuan untuk hidup dan menghidupkan, karena filsafat itu hidup dan menghidupkan.
Bagi sebagian besar dari kita merasa filsafat itu sangatlah sulit untuk dimengerti. Sehingga muncullah keinginan untuk mengetahui bagaimana cara menjawab pertanyaan secara filsafat. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam konteks filsafat dari setiap orang pasti berbeda-berbeda tergantung pada dimensi ruang dan waktunya.  Filsafat itu sensitif terhadap ruang dan waktu, artinya kita sadar bahwa ada dimensi vertikal (hubungan kita kepada Tuhan) dan dimensi horisontal (hubungan kita dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan meliputi yang ada dan yang mungkin ada).
Dimensi itu rumit, komleks, dan saling tali temali. Dalam filsafat, bukanlah jawaban yang dipentingkan melainkan bagaimana penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seperti contohnya pertanyaan mengenai mengapa air mineral dalam kemasan gelas itu tidak tumpah? Hal ini disebabkan karena holistik. Mengapa disebut holistik? Karena untuk mencari kesempurnaan. Oleh karena itu, semua sisi dan sudutnya terdapat kesempurnaan sehingga air dalam kemasan gelas itu tidak mudah tumpah.
Hidup yang indah itu adalah hidup yang komprehensif dan holistik. Hidup yang tak karuan dan tak seimbang itu adalah hidup yang parsial. Segala sesuatu yang telah terjadi disebut takdir. Segala sesuatu yang belum terjadi disebut ikhtiar. Tuhan selalu memberikan keseimbangan dalam hidup ini, oleh karena itu ada ekuilibrium dalam hidup ini agar tak terjadi suatu kesenjangan dan tak keseimbangan. Oleh karena ittu, manusia selayaknya senantiasa memohon ampun, agar senantiasa berada dalam tuntunan dan ridho Allah SWT sehingga senantiasa dapat menyeimbangkan hidup. Salah satu contoh menyeimbangkan hidup adalah memiliki pikiran yang kritis dan hati yang ikhlas.
Bagaimana cara memahami filsafat. Pertanyaan itu sering muncul pada diri yang sedang mempelajari filsafat. Filsafat itu terdiri dari dimensi material, formal, normatif, dan spiritual. Oleh karena itu, jika filsafat telah menyentuh dimensi spiritual, maka filsafat itu harus berhenti. Refleksi dari pengalaman suatu pengetahuan adalah gabungan antara logika, rasionalitas, dan pengalaman itu sendiri sehingga senantiasa terjadi tesis dan anti tesis dalam pengetahuan.
Menjawab secara filsafat juga harus meriver kepada pikiran para filsuf. Contoh kecilnya adalah suatu pertanyaan mengapa kita kuliah? Menurut filsuf Plato, kita kuliah kareana sesuatu yang diideliskan atau dicita-citakan. Plato mengemukakan bahwa segala sesuatu yang ia pikirkan bersifat idealis, tetapi yang nampak hanyalah contoh saja, tak ada yang sempurna. Mengapa tak ada yang sempurna? Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Mengapa dalam kebaikan ada keburukan? Karena relatif. Mengapa dalam keburukan ada kebaikan? Karena relatif terhadap dimensi ruang dan waktu. Filsafat adalah akumulasi, sehingga setiap kata mewakili dunianya sendiri, dan setiap dunia terkarakterisasi oleh kata-kata maupun kalimat yang mengkarakterkan dunia itu sendiri. Contoh paling sederhanya adalah mengapa manusia menangis? Jawaban-jawaban yang mungkin muncul dari pertanyaan tersebut adalah jawaban-jawaban yang mewakili duanianya masing-masing. Contohnya, dalam sudut pandang filsafat, menangis karena kuasa maupun tak kuasa. Dalam sedut pandang spiritual, menangis karena khusyuk. Dalam sudut pandang psikologi, menangis karena perasaan. Dalam sudut pandang ekonomi, menangis karena tak mempunyai uang. Dalam sudut pandang politik, menangis karena kegagalan daam suatu koalisi. Dalam sudut pandang pendidikan, menangis karena tak berilmu, dan masih banyak lagi penyebab menangis dari berbagai sudut pandang yang meliputi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam filsafat, nenek moyang para filsuf adalah Herakritos dan Permenides. Menurut Herakritos, segala sesuatu itu berubah, dan menurut Permenides, segala sesuatu itu tetap. Segala sesuatu yang berubah menurut Herakritos meliputi perasaan maupun wujud dari yang ada dan yang mungkin ada tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Sedangkan sesuatu yang tetap menurut Permenides adalah dari zaman dahulu hingga kini, tetaplah manusia itu adalah ciptaan Tuhan jika kita berbicara dalam dimensi spiritual.
Manusia itu terbatas, terbatas terhadap dimensi ruang dan waktunya. Manusia tidak mengetahui semua hakikat seluruh. Manusia hanya memahami sedikit hakikat, bahkan yang sedikit itu saja belum tentu manusia memahami apalagi yang bersifat menyeluruh. Bersyukurlah kita karena Tuhan memberikan keterbatasan terhadap dimensi ruang dan waktu yang kita miliki. Pada dasarnya, filsafat adalah kesadaran untuk mengetahui bahwa manusia adalah serba terbatas meliputi yang ada dan yang mungkin ada dalam dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, teruslah membaca, karena dengan menbaca kita tidak hanya dapat pikiran tetapi juga hati kita. Membacalah agar kita mampu hidup dan menghidupkan, seimbang dan menyeimbangkan, selaras dan menyelaraskan, bahagia dan membahagiakan, serta ikhlas dan mengikhlaskan.