Rabu, 02 Oktober 2013

Refleksi 2, Filsafat Ilmu


REFILSEP II

Berfilsafat tidak berawal dari sesuatu yang sulit, tetapi berfilsafat berawal dari sesuatu yang wajar-wajar saja yang melekat pada diri kita masing-masing. Berfilsafat adalah olah pikir. Berfilsafat berarti mengembarakan pikiran kita. Berfilsafat juga berarti bersyukur bahwa kita masih diberi kemampuan untuk hidup dan menghidupkan, karena filsafat itu hidup dan menghidupkan.
Bagi sebagian besar dari kita merasa filsafat itu sangatlah sulit untuk dimengerti. Sehingga muncullah keinginan untuk mengetahui bagaimana cara menjawab pertanyaan secara filsafat. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam konteks filsafat dari setiap orang pasti berbeda-berbeda tergantung pada dimensi ruang dan waktunya.  Filsafat itu sensitif terhadap ruang dan waktu, artinya kita sadar bahwa ada dimensi vertikal (hubungan kita kepada Tuhan) dan dimensi horisontal (hubungan kita dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan meliputi yang ada dan yang mungkin ada).
Dimensi itu rumit, komleks, dan saling tali temali. Dalam filsafat, bukanlah jawaban yang dipentingkan melainkan bagaimana penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seperti contohnya pertanyaan mengenai mengapa air mineral dalam kemasan gelas itu tidak tumpah? Hal ini disebabkan karena holistik. Mengapa disebut holistik? Karena untuk mencari kesempurnaan. Oleh karena itu, semua sisi dan sudutnya terdapat kesempurnaan sehingga air dalam kemasan gelas itu tidak mudah tumpah.
Hidup yang indah itu adalah hidup yang komprehensif dan holistik. Hidup yang tak karuan dan tak seimbang itu adalah hidup yang parsial. Segala sesuatu yang telah terjadi disebut takdir. Segala sesuatu yang belum terjadi disebut ikhtiar. Tuhan selalu memberikan keseimbangan dalam hidup ini, oleh karena itu ada ekuilibrium dalam hidup ini agar tak terjadi suatu kesenjangan dan tak keseimbangan. Oleh karena ittu, manusia selayaknya senantiasa memohon ampun, agar senantiasa berada dalam tuntunan dan ridho Allah SWT sehingga senantiasa dapat menyeimbangkan hidup. Salah satu contoh menyeimbangkan hidup adalah memiliki pikiran yang kritis dan hati yang ikhlas.
Bagaimana cara memahami filsafat. Pertanyaan itu sering muncul pada diri yang sedang mempelajari filsafat. Filsafat itu terdiri dari dimensi material, formal, normatif, dan spiritual. Oleh karena itu, jika filsafat telah menyentuh dimensi spiritual, maka filsafat itu harus berhenti. Refleksi dari pengalaman suatu pengetahuan adalah gabungan antara logika, rasionalitas, dan pengalaman itu sendiri sehingga senantiasa terjadi tesis dan anti tesis dalam pengetahuan.
Menjawab secara filsafat juga harus meriver kepada pikiran para filsuf. Contoh kecilnya adalah suatu pertanyaan mengapa kita kuliah? Menurut filsuf Plato, kita kuliah kareana sesuatu yang diideliskan atau dicita-citakan. Plato mengemukakan bahwa segala sesuatu yang ia pikirkan bersifat idealis, tetapi yang nampak hanyalah contoh saja, tak ada yang sempurna. Mengapa tak ada yang sempurna? Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Mengapa dalam kebaikan ada keburukan? Karena relatif. Mengapa dalam keburukan ada kebaikan? Karena relatif terhadap dimensi ruang dan waktu. Filsafat adalah akumulasi, sehingga setiap kata mewakili dunianya sendiri, dan setiap dunia terkarakterisasi oleh kata-kata maupun kalimat yang mengkarakterkan dunia itu sendiri. Contoh paling sederhanya adalah mengapa manusia menangis? Jawaban-jawaban yang mungkin muncul dari pertanyaan tersebut adalah jawaban-jawaban yang mewakili duanianya masing-masing. Contohnya, dalam sudut pandang filsafat, menangis karena kuasa maupun tak kuasa. Dalam sedut pandang spiritual, menangis karena khusyuk. Dalam sudut pandang psikologi, menangis karena perasaan. Dalam sudut pandang ekonomi, menangis karena tak mempunyai uang. Dalam sudut pandang politik, menangis karena kegagalan daam suatu koalisi. Dalam sudut pandang pendidikan, menangis karena tak berilmu, dan masih banyak lagi penyebab menangis dari berbagai sudut pandang yang meliputi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Dalam filsafat, nenek moyang para filsuf adalah Herakritos dan Permenides. Menurut Herakritos, segala sesuatu itu berubah, dan menurut Permenides, segala sesuatu itu tetap. Segala sesuatu yang berubah menurut Herakritos meliputi perasaan maupun wujud dari yang ada dan yang mungkin ada tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Sedangkan sesuatu yang tetap menurut Permenides adalah dari zaman dahulu hingga kini, tetaplah manusia itu adalah ciptaan Tuhan jika kita berbicara dalam dimensi spiritual.
Manusia itu terbatas, terbatas terhadap dimensi ruang dan waktunya. Manusia tidak mengetahui semua hakikat seluruh. Manusia hanya memahami sedikit hakikat, bahkan yang sedikit itu saja belum tentu manusia memahami apalagi yang bersifat menyeluruh. Bersyukurlah kita karena Tuhan memberikan keterbatasan terhadap dimensi ruang dan waktu yang kita miliki. Pada dasarnya, filsafat adalah kesadaran untuk mengetahui bahwa manusia adalah serba terbatas meliputi yang ada dan yang mungkin ada dalam dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, teruslah membaca, karena dengan menbaca kita tidak hanya dapat pikiran tetapi juga hati kita. Membacalah agar kita mampu hidup dan menghidupkan, seimbang dan menyeimbangkan, selaras dan menyelaraskan, bahagia dan membahagiakan, serta ikhlas dan mengikhlaskan.

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr. wb.
    smoga Allah SWT memberikan keselamatan, rahmat, dan barokah kepadamu..amin..^_^..

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
    Aamiin Ya Robbal'alamin.
    Semoga Allah SWT juga memberikan keselamatan, rahmat, dan barokah kepadamu..amin..^_^..
    Terimakasih.

    BalasHapus